Belum Optimalnya Implementasi Pidana Tambahan Dalam UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam praktiknya penegak hukum sulit mengimplementasikan karena belum ada peraturan turunan, fasilitas/ sarana dan prasarana. Serta tidak adanya lembaga yang diberi amanat secara khusus untuk menjadi penyedia layanan.
Aparat Penegak Hukum Belum Memahami Konsep Relasi Kuasa
Relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan, dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya. Dalam hal relasi antar gender inilah berakibat merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Relasi kuasa itulah membuat korban tidak bisa melawan/menolak karena kekuasaan yang ada pada seseorang.
Adanya Stereotip, Victim Blaming Dan Reviktimisasi
Adanya stereotip bahwa perempuan dianggap berperan terhadap terjadinya tindak pidana. Serta berupa victim blaming yang mengatakan korban disalahkan ketika perempuan tak melakukan perlawanan dalam kasus kekerasan seksual dianggap memberikan persetujuan. Kemudian perempuan kerap disalahkan akibat menggunakan pakaian terbuka dan keluar malam. Termasuk meragukan kesaksian korban lantaran memiliki hubungan dengan pelaku.
Aparat Penegak Hukum Belum Memberikan Pertimbangan Mengenai Dampak Psikis
Aparat penegak hukum belum mempertimbangkan dampak fisik dan psikis yang dialami perempuan korban, pemberian ganti rugi, dan proses pemulihan yang terpadu. Kemudian, ketiadaan ahli seperti psikolog dan visum et psikiatrikum yang dihadirkan dalam persidangan untuk menilai kondisi korban.
Belum Semua Pemberi Bantuan Hukum (PBH) Memberi Pendampingan Terhadap Korban
Aparat penegak hukum tidak mengakui atau tidak mengizinkan pendamping korban mendampingi selama proses hukum. Padahal pemberian pendampingan terhadap korban telah diatur gamblang dalam Pasal 10 huruf d UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Korban Tidak Melaporkan Perkara Ke Jalur Hukum
Masyarakat yang memiliki permasalahan hukum, tidak melakukan upaya apapun untuk menyelesaikan permasalahan hukumnya. Setidaknya terdapat alasan menempuh mekanisme formal dianggap akan membuat permasalahan semakin rumit.
Pemidanaan Masih Fokus Pada Pemenjaraan Pelaku
Paradigma penegakan hukum dalam perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak masih berorientasi punitive dan retributive. Alhasil, perlunya pendekatan secara restorative justice terutama terkait pemulihan korban. Ironisnya, belum semua dakwaan dan tuntutan memuat penilaian/assessment kerugian yang dialami korban.
Kesulitan Menghadirkan Alat Bukti Dan Menghadirkan Korban Di Persidangan
Pembuktian kasus kekerasan terhadap perempuan acapkali terhambat. Penyebabnya, akibat minimnya saksi dan alat bukti. Keengganan saksi memberi keterangan akibat adanya ancaman keselamatan maupun trauma. Dan korban kerapkali masih diperiksa secara bersamaan dengan pelakku atau terdakwa.
